• Sab. Okt 5th, 2024
Rupiah Diprediksi Menguat, Meski Alami Fluktuasi Terhadap Dolar AS

Jakarta, CNBC Indonesia – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan mengalami penguatan signifikan hingga akhir 2024 dan memasuki tahun 2025, meskipun sempat mengalami penurunan pada perdagangan Kamis (26/9/2024). Rupiah ditutup pada angka Rp15.160/US$, melemah 0,43% dibandingkan penutupan sebelumnya. Namun, secara year-to-date (ytd), mata uang Garuda telah menguat sebesar 1,95%.

Menurut data yang dirilis oleh Refinitiv, rupiah sempat mencapai titik terkuatnya di Rp15.095/US$ pada Rabu (25/9/2024), posisi tertinggi sejak Juli 2023. Para analis menilai bahwa meskipun terjadi fluktuasi jangka pendek, faktor-faktor ekonomi fundamental mendukung penguatan nilai tukar ini dalam jangka menengah hingga panjang.

Optimisme Penguatan Rupiah Hingga 2025

Dalam acara UOB Indonesia Economic Outlook 2025 yang berlangsung di Jakarta pada Rabu (25/9/2024), ASEAN Economist UOB, Enrico Tanuwidjaja, menyampaikan pandangan optimis mengenai penguatan nilai tukar rupiah hingga tahun depan. Ia memperkirakan bahwa pada kuartal pertama 2025, rupiah akan stabil di angka Rp15.200/US$, dan akan terus menguat hingga mencapai Rp14.800/US$ pada kuartal ketiga 2025.

Prediksi ini, menurut Enrico, didorong oleh beberapa faktor penting yang mendukung stabilitas ekonomi Indonesia, termasuk aliran modal asing yang masuk ke pasar domestik (capital inflow), pemangkasan suku bunga oleh Bank Sentral AS (The Fed), serta surplus neraca perdagangan Indonesia.

baca juga: Pasar Penanganan Udara Ruang Bersih (2024 – 2031)

“Kami memperkirakan rupiah akan lebih stabil dan cenderung menguat berkat dukungan dari faktor eksternal seperti pemangkasan suku bunga The Fed, dan juga faktor internal seperti aliran modal asing yang terus masuk dan surplus perdagangan,” ujar Enrico.

Faktor Utama Penguatan Rupiah

Ada tiga faktor utama yang dianggap berperan besar dalam memperkuat nilai tukar rupiah:

Pemangkasan Suku Bunga The Fed Bank Sentral AS (The Fed) pada bulan September 2024 memangkas suku bunganya sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 4,75%-5,00%. Lebih jauh, Summary of Economic Projections (SEP) yang dirilis The Fed menunjukkan bahwa pemangkasan lebih lanjut sebesar 50 bps akan dilakukan hingga akhir 2024. Proyeksi ini menunjukkan bahwa suku bunga AS pada 2025 akan berada di level 3,4%, dengan pemotongan lebih lanjut sebesar 100 bps yang direncanakan untuk tahun 2026.Penurunan suku bunga ini diharapkan akan melemahkan indeks dolar AS (DXY), sehingga memberikan ruang bagi mata uang lain, termasuk rupiah, untuk menguat. Suku bunga yang lebih rendah di AS mengurangi daya tarik dolar sebagai aset investasi, sehingga mendorong investor global untuk mencari aset dengan imbal hasil lebih tinggi di negara-negara berkembang seperti Indonesia.“Ketika suku bunga The Fed turun, dolar cenderung melemah, dan itu memberikan peluang bagi rupiah untuk menguat,” jelas Enrico.

Capital Inflow ke Indonesia Dalam beberapa bulan terakhir, Indonesia mencatat derasnya aliran modal asing yang masuk ke pasar domestik. Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa antara 17-19 September 2024, investor asing mencatatkan pembelian neto sebesar Rp25,6 triliun. Pembelian ini terdiri dari Rp19,76 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), Rp4,19 triliun di pasar saham, dan Rp1,66 triliun di Securities Rupiah Bank Indonesia (SRBI).Secara kumulatif, sejak awal tahun 2024 hingga pertengahan September, investor asing telah mencatatkan pembelian neto sebesar Rp51,85 triliun di pasar saham, Rp21,39 triliun di pasar SBN, dan Rp186,85 triliun di SRBI. Aliran modal asing yang terus meningkat ini membantu memperkuat posisi rupiah di pasar valuta asing, karena investor membutuhkan mata uang lokal untuk berinvestasi di instrumen-instrumen tersebut.“Dengan masuknya dana asing yang masif, nilai tukar rupiah diharapkan semakin kuat, yang juga akan mengurangi beban pemerintahan baru dalam menjaga stabilitas nilai tukar,” kata Enrico.Selain itu, imbal hasil yang tinggi dari instrumen seperti SRBI dengan tenor 6, 9, dan 12 bulan, masing-masing sebesar 6,72%, 6,8%, dan 6,85%, menjadi daya tarik utama bagi investor asing. Ini terutama lebih menguntungkan dibandingkan dengan imbal hasil obligasi pemerintah dengan tenor 10 tahun, yang sempat mencapai 7,1% pada akhir Juli 2024.

    Keseimbangan Neraca Perdagangan Surplus neraca perdagangan Indonesia juga menjadi salah satu pendorong penguatan rupiah. Pada akhir Agustus 2024, Indonesia mencatatkan surplus sebesar US$2,89 miliar, yang lebih tinggi dibandingkan dengan surplus US$470 juta pada Juli 2024. Surplus ini didorong oleh peningkatan ekspor yang tumbuh sebesar 5,97%, mencapai US$23,56 miliar, sementara impor tercatat sebesar US$20,67 miliar.Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, menilai bahwa kinerja ekspor-impor Indonesia sangat baik dan surplus perdagangan ini menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia tetap tangguh di tengah ketidakpastian global. Surplus yang terus berlanjut juga memberikan dampak positif terhadap cadangan devisa Indonesia, yang dapat membantu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.Beberapa negara mitra dagang utama Indonesia mencatatkan peningkatan signifikan dalam nilai ekspor, termasuk Tiongkok (US$5,33 miliar), Amerika Serikat (US$2,61 miliar), Jepang (US$1,8 miliar), ASEAN (US$4,12 miliar), dan Uni Eropa (US$1,54 miliar). Peningkatan ekspor ini semakin memperkuat neraca perdagangan Indonesia dan berkontribusi pada penguatan rupiah.

      Dinamika Ekonomi Global dan Dampaknya pada Rupiah

      Meskipun ada sejumlah faktor eksternal yang mempengaruhi fluktuasi nilai tukar, seperti ketidakpastian kebijakan moneter global dan risiko geopolitik, fundamental ekonomi Indonesia tetap kuat. Pertumbuhan ekonomi yang stabil, surplus perdagangan yang berkelanjutan, dan aliran modal asing yang masuk terus-menerus memberikan landasan yang kokoh bagi penguatan rupiah dalam beberapa bulan mendatang.

      Namun, pemerintah dan Bank Indonesia tetap harus waspada terhadap potensi volatilitas pasar, terutama jika kondisi eksternal seperti kenaikan harga komoditas atau ketidakpastian geopolitik mempengaruhi sentimen pasar global.