Jakarta, 24 September 2024 – Industri manufaktur Indonesia, yang pernah menjadi tulang punggung perekonomian nasional, kini menghadapi tantangan besar. Porsi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) semakin mengecil, menyebabkan keprihatinan di kalangan ekonom dan pelaku industri. Menurut data terbaru yang dirilis S&P Global, Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia terkontraksi menjadi 48,9 pada Agustus 2024, menandai penurunan selama dua bulan berturut-turut setelah pada Juli mencatatkan angka 49,3.
Penurunan PMI manufaktur ini mempertegas tren lima bulan terakhir yang menunjukkan pelemahan sektor tersebut. Pada Maret 2024, PMI masih berada di angka 54,2, namun terus merosot hingga mencapai level kontraksi di bawah 50. Hal ini menjadi sinyal bahwa industri manufaktur sedang mengalami tekanan yang signifikan, dengan potensi dampak luas terhadap perekonomian nasional.
Kontribusi Manufaktur yang Menyusut
Pada puncak kejayaannya di era 1980-an, sektor manufaktur Indonesia tumbuh pesat dengan tingkat pertumbuhan mencapai 19% pada tahun 1989 dan meningkat hingga 25% di awal 1990-an. Namun, dalam dekade terakhir, kontribusi sektor ini terus menurun. Pada 2023, sektor manufaktur hanya mencatatkan pertumbuhan sebesar 18%, jauh di bawah capaian era sebelumnya.
baca juga: Bagaimana Tren Regional dan Global Membentuk Pasar Articulated Lorry Baler
Menurut Eisha Maghfiruha Rachbini, ekonom dari INDEF, fenomena ini mengindikasikan deindustrialisasi dini, di mana sektor manufaktur tidak mampu menjaga pertumbuhan yang stabil. “Kontribusi sektor manufaktur terus menurun dalam dekade terakhir, padahal di tahun 1980-an, sektor ini tumbuh pesat dan menjadi motor utama perekonomian,” ujar Eisha dalam sebuah diskusi panel pekan lalu.
Selain itu, Eisha menambahkan bahwa sektor industri di Indonesia belum mampu menghasilkan pendapatan per kapita yang setara dengan negara-negara maju. Sementara itu, industri jasa, khususnya di sektor informal, terus meningkat. Hal ini dianggap mengkhawatirkan karena sektor informal cenderung lebih rentan terhadap gejolak ekonomi global.
Deindustrialisasi dan Kelemahan Struktural
Deindustrialisasi menjadi perhatian utama para ekonom, yang mencatat bahwa Indonesia belum mampu mendorong industrialisasi berbasis teknologi tinggi. Sebagian besar industri nasional masih bergantung pada komoditas, dengan produktivitas yang relatif rendah dibandingkan negara-negara seperti Tiongkok dan Jepang.
Wijayanto Samirin, ekonom dari Universitas Paramadina, menegaskan bahwa hilirisasi sumber daya alam bukanlah solusi jangka panjang untuk mengatasi tantangan ekonomi Indonesia. “Sejarah membuktikan bahwa negara-negara besar seperti Tiongkok, India, Inggris, dan Jepang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi, bukan hilirisasi,” jelasnya.
Menurut Wijayanto, industrialisasi yang berbasis teknologi tinggi dan peningkatan produktivitas tenaga kerja menjadi kunci bagi Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Ia juga menyarankan agar pemerintah fokus pada kualitas pertumbuhan, bukan sekadar kecepatan, dengan mencontoh beberapa kegagalan proyek-proyek besar seperti Ibu Kota Negara (IKN) dan kereta cepat Jakarta-Bandung (KCIC).
Sri Mulyani: Kondisi Manufaktur Memprihatinkan
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati turut menyuarakan kekhawatirannya terkait kondisi sektor manufaktur. Dalam konferensi pers APBN KiTA pada 23 September 2024, ia mencatat bahwa penurunan PMI mencerminkan turunnya permintaan industri, yang terlihat dari penurunan permintaan listrik industri sebesar 2,9%. Selain itu, permintaan semen juga tumbuh tipis, seiring dengan melambatnya kegiatan konstruksi di dalam negeri.
“PMI kita masuk ke zona kontraksi, ini perlu diwaspadai. Namun, kami berharap dengan pertumbuhan impor sebesar 9%, kegiatan manufaktur dapat terdorong,” kata Sri Mulyani. Ia juga menambahkan bahwa di kuartal terakhir 2024, diharapkan ada akselerasi pada proyek-proyek konstruksi, yang dapat membantu pemulihan sektor manufaktur.
Masa Depan Manufaktur Indonesia
Para ahli sepakat bahwa Indonesia perlu mengubah strategi ekonominya dengan fokus pada pengembangan sektor industri yang berbasis teknologi tinggi dan peningkatan produktivitas tenaga kerja. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya deindustrialisasi lebih lanjut dan menjaga stabilitas ekonomi nasional.
Eisha menekankan bahwa tantangan utama sektor manufaktur Indonesia adalah kurangnya inovasi teknologi dan rendahnya daya saing tenaga kerja dibandingkan negara-negara tetangga seperti Thailand. Ia menyarankan agar pemerintah lebih serius dalam mengembangkan kebijakan yang mendukung pertumbuhan sektor industri, terutama dalam meningkatkan pendidikan dan keterampilan tenaga kerja.
Dalam jangka panjang, dukungan pemerintah melalui kebijakan fiskal yang tepat, serta investasi pada sektor industri, diharapkan dapat membawa Indonesia keluar dari kondisi deindustrialisasi. Fokus pada industrialisasi yang berbasis teknologi tinggi dan peningkatan produktivitas menjadi kunci bagi masa depan ekonomi Indonesia yang lebih stabil dan berkelanjutan.