Jakarta, CNBC Indonesia – Sejumlah indikator ekonomi menunjukkan bahwa kondisi perekonomian Indonesia sedang dalam situasi yang mengkhawatirkan. Mulai dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang melambat, PMI manufaktur yang terus terkontraksi, deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut, meningkatnya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), hingga turunnya penerimaan negara. Berikut adalah rangkuman fakta-fakta yang menunjukkan adanya tanda-tanda krisis dalam ekonomi Indonesia.
1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Melambat
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2024 tercatat sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/yoy), lebih rendah dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang mencapai 5,11%. Penurunan ini mengindikasikan perlambatan aktivitas ekonomi, meskipun masih berada di atas 5%.
Pada kuartal I-2024, perekonomian Indonesia masih ditopang oleh sejumlah faktor, seperti pemilihan umum dan momentum perayaan Lebaran yang meningkatkan konsumsi domestik. Namun, pada kuartal berikutnya, pertumbuhan mulai melambat seiring dengan normalisasi aktivitas ekonomi dan turunnya permintaan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati masih optimistis bahwa pada kuartal III-2024, pertumbuhan ekonomi akan stabil di angka 5,06% secara tahunan. Meski begitu, tetap ada kekhawatiran terkait faktor eksternal yang mempengaruhi daya tahan ekonomi Indonesia.
2. PMI Manufaktur Terus Terkontraksi
Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia kembali menunjukkan kontraksi pada September 2024 dengan angka 49,2, turun dari 48,9 di bulan sebelumnya. PMI yang berada di bawah 50 menunjukkan adanya penurunan aktivitas di sektor manufaktur. Kondisi ini menandai kontraksi selama tiga bulan berturut-turut sejak Juli 2024.
Paul Smith, Direktur Ekonomi di S&P Global Market Intelligence, menjelaskan bahwa kontraksi ini disebabkan oleh melemahnya permintaan luar negeri akibat perlambatan ekonomi global. Penurunan permintaan ekspor telah berlangsung selama tujuh bulan berturut-turut, mencapai level terendah sejak November 2022.
baca juga: Pasar Percetakan 3D Dirgantara: Merevolusi Langit dan Luar Angkasa
Meski demikian, satu kabar positif adalah adanya peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor manufaktur pada September 2024. Hal ini menjadi tanda bahwa perusahaan masih optimistis terhadap pemulihan di masa depan, meskipun situasi ekonomi saat ini kurang menggembirakan.
3. Deflasi Lima Bulan Berturut-turut
Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei hingga September 2024. Deflasi ini sebagian besar dipicu oleh penurunan harga pangan dan potensi melemahnya daya beli masyarakat.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2024 turun sebesar 0,12% secara bulanan (month-to-month/mtm), lebih dalam dari deflasi Agustus sebesar 0,03%. Deflasi lima bulan berturut-turut ini mengingatkan pada krisis ekonomi yang terjadi pada 1998/1999, ketika Indonesia mencatat deflasi selama delapan bulan berturut-turut.
Penurunan harga pangan, seperti telur dan beras, menjadi salah satu faktor utama terjadinya deflasi. Namun, ada kekhawatiran bahwa deflasi yang berkepanjangan ini juga mencerminkan adanya pelemahan daya beli masyarakat yang berdampak pada penurunan permintaan barang dan jasa.
4. Peningkatan PHK yang Tidak Terkendali
Kondisi ekonomi yang semakin tertekan turut memicu peningkatan jumlah PHK. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa pada September 2024, jumlah tenaga kerja yang terkena PHK mencapai 52.993 orang, naik 25,3% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2023.
Sektor manufaktur menjadi penyumbang terbesar PHK, terutama di industri tekstil, garmen, dan alas kaki. Salah satu faktor yang memicu lonjakan PHK di sektor ini adalah kenaikan cukai rokok, yang meningkatkan beban produksi perusahaan.
Peningkatan angka PHK ini menjadi salah satu indikator utama melemahnya daya beli masyarakat, yang pada gilirannya turut memperdalam krisis ekonomi.
5. Turunnya Penerimaan Negara
Penerimaan negara pada Agustus 2024 tercatat sebesar Rp1.777 triliun, atau 63,4% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 sebesar Rp2.802,3 triliun. Pencapaian ini lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya, dengan kontraksi sebesar 2,5% year-on-year.
Wakil Menteri Keuangan II, Thomas Djiwandono, mengungkapkan bahwa penurunan penerimaan negara terutama disebabkan oleh turunnya harga komoditas global serta menurunnya lifting minyak bumi. Penurunan ini terlihat dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Non-migas yang turun sebesar 2,46%, dan penerimaan PPh migas yang terkontraksi 10,23%.
Meskipun ada kenaikan pada penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), penurunan penerimaan di sektor lain membuat pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk menutup defisit anggaran dan menjaga kestabilan fiskal.
Tanda-tanda melemahnya perekonomian Indonesia semakin nyata dengan pertumbuhan PDB yang melambat, kontraksi di sektor manufaktur, deflasi beruntun, meningkatnya PHK, dan turunnya penerimaan negara. Meski ada beberapa kabar positif seperti penyerapan tenaga kerja yang meningkat di sektor manufaktur, tantangan ekonomi masih sangat besar dan memerlukan perhatian serius dari pemerintah serta pelaku usaha.
Langkah-langkah strategis dan kebijakan fiskal yang lebih agresif diperlukan untuk mengatasi situasi ini dan memastikan pemulihan ekonomi yang berkelanjutan di masa depan.