Jakarta, 2 Oktober 2024 – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah pada perdagangan hari ini, Rabu (2/10/2024). Setelah penutupan di zona merah pada Selasa (1/10/2024), rupiah terpantau turun 66 poin atau sekitar 0,44% ke level Rp15.206 per dolar AS, menurut data Bloomberg. Tren pelemahan ini terjadi di tengah penguatan indeks dolar AS sebesar 0,18% ke posisi 100,96.
Selain rupiah, beberapa mata uang di kawasan Asia juga mengalami pelemahan. Yen Jepang mencatatkan penurunan sebesar 0,25%, sementara won Korea melemah 0,55%. Di sisi lain, yuan China melemah 0,11%, rupee India turun 0,02%, dan baht Thailand melemah 0,43%.
Fluktuasi Rupiah Diperkirakan Berlanjut
Ibrahim Assuaibi, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, memperkirakan nilai tukar rupiah akan bergerak fluktuatif pada perdagangan hari ini. “Rupiah berpotensi ditutup melemah dalam rentang Rp15.130 hingga Rp15.240 per dolar AS pada Rabu [2/10/2024],” ungkap Ibrahim dalam risetnya.
Menurut Ibrahim, beberapa faktor eksternal turut memberikan tekanan pada pergerakan rupiah, termasuk ekspektasi terkait pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve (The Fed) serta kondisi deflasi yang berlangsung di Indonesia. “Ekspektasi terhadap pemangkasan suku bunga The Fed lebih lanjut masih menjadi faktor utama yang mempengaruhi pergerakan rupiah ke depan,” tambahnya.
Faktor Eksternal: Kebijakan The Fed
Dalam perkembangan terkini, bank sentral AS The Fed diperkirakan akan tetap mempertahankan pemotongan suku bunga sebesar seperempat poin pada pertemuan kebijakan berikutnya. Para pedagang di pasar global meyakini bahwa The Fed akan melanjutkan kebijakan pemangkasan suku bunga dalam pertemuan penetapan kebijakan pada November mendatang. Namun, ekspektasi terkait pengurangan 50 basis poin (bps) berkurang dari 53,3% menjadi 35,4%, menandakan ketidakpastian di pasar.
Kebijakan moneter yang ditempuh oleh The Fed sering kali berdampak langsung pada pergerakan nilai tukar mata uang di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kenaikan suku bunga oleh The Fed biasanya menyebabkan investor global menarik dananya dari negara berkembang untuk berinvestasi di aset-aset yang lebih menguntungkan di AS, yang pada gilirannya menekan nilai tukar mata uang negara-negara tersebut, termasuk rupiah.
baca juga: Parafin Cair untuk Sektor Industri Kosmetik: Dinamika Pasar dan Skenario Masa Depan 2024 – 2031
Faktor Internal: Deflasi di Indonesia
Sementara itu, dari dalam negeri, deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut juga turut memengaruhi prospek pergerakan nilai tukar rupiah. Tingkat inflasi Indonesia pada September 2024 tercatat sebesar 1,84% secara tahunan (year-on-year/YoY), namun terjadi deflasi 0,12% secara bulanan (month-on-month/MtM). Deflasi ini terutama disebabkan oleh penurunan harga pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau, dengan deflasi sebesar 0,59% yang memberikan kontribusi 0,17% terhadap deflasi keseluruhan.
Meskipun demikian, ada beberapa komoditas yang menyumbang inflasi, seperti ikan segar dan kopi bubuk, yang masing-masing memberikan andil inflasi sebesar 0,02%. Selain itu, biaya kuliah akademi perguruan tinggi dan harga sigaret kretek mesin juga tercatat memberikan kontribusi terhadap inflasi.
Para analis sebelumnya telah memperkirakan bahwa inflasi tahunan di Indonesia akan mereda. Menurut survei yang melibatkan 29 ekonom, proyeksi median inflasi untuk September 2024 adalah 2,00% YoY, lebih rendah dibandingkan dengan inflasi pada Agustus 2024 yang mencapai 2,12% YoY.
Dampak Terhadap Ekonomi Nasional
Pergerakan nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar AS berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sebagai negara yang masih bergantung pada impor barang dan bahan baku, pelemahan rupiah dapat meningkatkan biaya impor, yang pada gilirannya dapat memicu inflasi pada komoditas impor. Di sisi lain, pelemahan rupiah dapat memberikan keuntungan bagi sektor ekspor, karena barang-barang Indonesia menjadi lebih murah dan kompetitif di pasar internasional.
Namun, dalam jangka pendek, fluktuasi rupiah yang disebabkan oleh faktor eksternal seperti kebijakan moneter The Fed, serta faktor internal seperti tren deflasi, tetap menjadi tantangan bagi stabilitas ekonomi Indonesia. Pemerintah dan Bank Indonesia diharapkan terus melakukan langkah-langkah stabilisasi untuk menjaga nilai tukar rupiah agar tidak terlalu tertekan di pasar global.
Kebijakan Bank Indonesia dan Proyeksi Ke Depan
Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan tetap menjaga kebijakan suku bunga acuan pada tingkat yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan stabilitas makroekonomi, meskipun tren deflasi memberikan ruang bagi BI untuk lebih fleksibel dalam kebijakan moneternya. Salah satu langkah yang terus didorong adalah optimalisasi penggunaan rupiah dalam transaksi domestik, guna mengurangi ketergantungan pada mata uang asing dan menjaga stabilitas nilai tukar.
Dalam menghadapi fluktuasi nilai tukar rupiah, BI telah berulang kali menegaskan komitmennya untuk terus menjaga stabilitas nilai tukar melalui intervensi di pasar valuta asing, jika diperlukan. “Bank Indonesia selalu hadir di pasar untuk menjaga stabilitas rupiah,” kata seorang pejabat BI dalam pernyataan resminya.