Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diprediksi terus melemah pada perdagangan hari ini, Kamis (24/10/2024). Penguatan dolar AS dan ketegangan geopolitik global menjadi faktor utama yang menekan mata uang Garuda.
Menurut data yang dihimpun dari Bloomberg pada Rabu (23/10/2024), rupiah terdepresiasi 0,38 persen atau 59,5 poin, ditutup di angka Rp15.626 per dolar AS. Sementara itu, indeks dolar AS mengalami penguatan sebesar 0,26 persen, naik ke level 104,35. Kondisi ini berdampak pada sejumlah mata uang di Asia yang ditutup bervariasi.
Beberapa mata uang di kawasan Asia yang terdampak antara lain yen Jepang yang melemah 0,93 persen, dolar Singapura yang turun 0,25 persen, dan ringgit Malaysia yang turun 0,49 persen. Sebaliknya, dolar Hong Kong mencatatkan penguatan tipis sebesar 0,03 persen. Penurunan ini juga dialami oleh mata uang lainnya seperti dolar Taiwan yang turun 0,09 persen, won Korea Selatan turun 0,24 persen, peso Filipina melemah 0,15 persen, yuan China turun 0,05 persen, dan baht Thailand yang tertekan sebesar 0,57 persen.
Menurut Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, pada perdagangan Kamis (24/10/2024), nilai tukar rupiah diprediksi akan diperdagangkan secara fluktuatif, namun masih berpotensi ditutup melemah. “Kami perkirakan rupiah akan bergerak dalam kisaran Rp15.610 hingga Rp15.720 per dolar AS,” ujarnya.
Faktor-Faktor Penekan Nilai Tukar Rupiah
Sejumlah faktor eksternal disebut sebagai penyebab utama pelemahan nilai tukar rupiah, di antaranya adalah imbal hasil obligasi AS yang terus menguat dan meningkatnya permintaan terhadap aset safe haven seperti dolar AS di tengah ketidakpastian geopolitik global.
Ibrahim menjelaskan bahwa arus modal global saat ini lebih banyak masuk ke aset-aset yang dianggap aman, seperti dolar AS, seiring dengan meningkatnya ketegangan di sejumlah wilayah, termasuk di Timur Tengah. Selain itu, pertumbuhan ekonomi AS yang masih cukup kuat juga berkontribusi terhadap penguatan dolar.
Peningkatan ekspektasi bahwa Federal Reserve (The Fed) akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan November 2024 mendatang, setelah sebelumnya memotong suku bunga sebesar 50 basis poin pada September, turut mempengaruhi pergerakan pasar. “Ekspektasi tersebut telah memicu pergeseran arus modal menuju aset-aset berisiko rendah,” tambah Ibrahim.
Proyeksi IMF dan Ekonomi Domestik
Dari sisi domestik, laporan dari International Monetary Fund (IMF) yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,0 persen pada tahun 2024 tampaknya juga menjadi faktor yang mempengaruhi sentimen pasar. Dalam laporan tersebut, IMF menyebutkan bahwa inflasi di Indonesia akan stabil di angka 2,3 persen, sementara neraca transaksi berjalan diperkirakan berada di angka negatif sebesar 1,0 persen.
Meskipun proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif stabil, target ambisius pemerintah untuk mencapai pertumbuhan sebesar 8 persen pada tahun-tahun mendatang dipandang masih jauh dari jangkauan. Menurut Ibrahim, tantangan-tantangan struktural yang ada, termasuk dalam hal peningkatan produktivitas dan investasi, membuat target pertumbuhan tersebut sulit tercapai dalam waktu dekat.
Di sisi lain, Bank Mandiri melalui Kepala Ekonomnya, Andry Asmoro, memproyeksikan bahwa volatilitas di pasar keuangan Indonesia masih akan terus berlangsung. “Faktor eksternal seperti kebijakan suku bunga The Fed akan sangat mempengaruhi volatilitas nilai tukar rupiah ke depannya,” kata Andry.
Proyeksi Bank Indonesia
Lebih lanjut, Andry memperkirakan bahwa dengan The Fed yang diprediksi menurunkan suku bunga acuannya menjadi 4,5 persen, ada kemungkinan Bank Indonesia (BI) juga akan menurunkan suku bunga acuan BI Rate hingga 5,75 persen pada akhir tahun 2024. Menurutnya, langkah ini dilakukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan menjaga daya saing ekonomi domestik di tengah ketidakpastian global.
Selain itu, nilai tukar rupiah diperkirakan akan bergerak dalam rentang Rp15.400 hingga Rp15.700 per dolar AS pada akhir 2024. Imbal hasil obligasi pemerintah domestik diperkirakan berada di kisaran 6,4 hingga 6,6 persen.
Kekhawatiran Terhadap Pemilu AS dan Dampaknya
Faktor lain yang turut menambah ketidakpastian pasar adalah perkembangan politik di Amerika Serikat, terutama terkait dengan kekhawatiran atas kemungkinan terpilihnya kembali Donald Trump sebagai presiden. Menurut Andry, terpilihnya kembali Trump bisa memicu peningkatan defisit fiskal AS dan inflasi, yang pada akhirnya berdampak negatif pada pasar obligasi AS dan memperkuat dolar AS.
“Ketidakpastian politik di AS memberikan tekanan tambahan pada nilai tukar di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang lebih rentan terhadap perubahan kebijakan di negara-negara maju,” tambahnya.
Dengan berbagai tekanan eksternal dan proyeksi ekonomi domestik yang moderat, nilai tukar rupiah diperkirakan masih akan mengalami fluktuasi dalam beberapa waktu ke depan. Pasar akan terus mencermati kebijakan moneter di AS dan langkah-langkah yang diambil oleh Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar serta pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, penguatan dolar AS dan ketegangan geopolitik global diprediksi akan tetap menjadi faktor utama yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah dalam waktu dekat.