**Ketahanan Demokrasi Korea Selatan Masih Diragukan**
Demokrasi Korea Selatan telah melalui berbagai fase dan tantangan sejak negara ini mengakhiri era kediktatoran militer pada akhir 1980-an. Meskipun memiliki reputasi sebagai salah satu negara demokratis yang paling sukses di Asia, ketahanan demokrasi di Korea Selatan kini berada dalam keadaan yang rentan, dengan kekhawatiran akan kembalinya pengaruh militer dalam kehidupan politik.
Sejarah menunjukkan bahwa Korea Selatan telah lama berjuang untuk mencapai demokrasi yang stabil. Setelah Perang Korea (1950-1953), negara ini jatuh ke dalam tangan sejumlah pemerintahan otoriter. Salah satu yang paling terkenal adalah pemerintahan Jenderal Park Chung-hee, yang memerintah dari 1961 hingga 1979. Di bawah kepemimpinannya, negara ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan, namun dengan pengorbanan kebebasan sipil yang besar. Selama masa ini, pengawasan ketat dan penindasan terhadap oposisi menjadi hal biasa.
Puncak perjuangan untuk demokrasi terjadi pada tahun 1980-an, saat protes melawan pemerintahan otoriter meningkat. Tragedi Kwangju pada tahun 1980, di mana pemerintah menewaskan ratusan demonstran, memicu kemarahan masyarakat dan akhirnya membawa pada transisi menuju demokrasi pada tahun 1987. Sejak saat itu, Korea Selatan berhasil menggelar pemilihan umum yang lebih bebas dan adil, dan institusi demokrasi mulai berkembang.
Namun, tantangan terhadap demokrasi Korea Selatan tidak berhenti setelah transisi. Isu-isu seperti korupsi politik, protes masyarakat yang meluas, dan munculnya populisme telah mengguncang fondasi demokrasi negara ini. Contohnya, gerakan “Me Too” yang merebak dan kasus skandal korupsi yang melibatkan mantan Presiden Park Geun-hye menunjukkan betapa rentannya sistempolitik saat ini. Park Geun-hye, yang terpilih pada tahun 2012, akhirnya dipecat pada tahun 2017 setelah terbongkarnya kasus korupsi besar.
Kondisi saat ini semakin diperparah oleh polarisasi politik yang kian mendalam dan ketidakpuasan masyarakat terhadap elit politik. Banyak warga merasa bahwa suara mereka tidak didengar dan konflik antara pihak-pihak politik sering kali mengganggu stabilitas pemerintahan. Dalam konteks ini, ketidakpuasan tersebut dapat menciptakan peluang bagi kekuatan militer untuk kembali muncul sebagai “penyelamat”, terutama di saat-saat krisis.
Skenario terburuk yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan kembalinya kekuatan militer ke panggung politik. Meskipun banyak warga Korea Selatan yang berharap untuk menjaga demokrasi yang telah dibangun, ketidakpastian dan ketidakpuasan sosial bisa menciptakan celah bagi intervensi militer. Keberadaan militer dalam pemerintahan tidak hanya akan mengancam kebebasan sipil, tetapi juga bisa membawa kembali masa lalu yang kelam bagi negara ini.
Dengan kondisi yang ada, menjadi penting bagi masyarakat dan pemimpin Korea Selatan untuk menjaga dialog terbuka, meningkatkan partisipasi publik, dan memastikan bahwa impian akan demokrasi yang kuat tidak menjadi sekadar kenangan masa lalu. Ketahanan demokrasi di Korea Selatan kian diuji, dan masa depan akan menentukan apakah negara ini mampu belajar dari sejarahnya atau terperosok kembali ke kegelapan yang pernah mendorong banyak orang untuk berjuang.